Tuesday, October 3, 2017

Marching Towards What?

Kemarin malam saya menemukan bahwa salah satu portal berita, March News, mengunggah potongan wawancara bertajuk "March Talk Communism: The Grand Idea of Communism." Potongan ini merupakan bagian dari seri video wawancara dalam rangka (mungkin) membangun kesadaran masyarakat umum mengenai komunisme dan meruntuhkan fobia terhadap komunisme itu sendiri. Bulan-bulan begini isu komunisme memang sedang ngetrend. Apalagi setelah ada acara nonton bareng G-30S-PKI kemarin. Maka maklum sebenarnya kalau media memuntahkan segala macam hal yang berhubungan dengan komunisme; entah karena ingin menangkap momen atau ingin menjaring euforia massa.

Duh, nggak kebaca. Tapi bisa di-google kok.
Tidak ada yang salah dengan konten wawancara itu. Yang salah adalah pemilihan narasumbernya. Eric Hiariej merupakan pelaku pelecehan seksual terhadap mahasiswa. Hal ini telah diakui oleh pelaku sendiri, dan telah mendapat "penanganan" dari Fisipol UGM sejak tanggal 25 Januari 2016. Sebagaimana diklarifikasi secara publik oleh surat tertanggal 3 Juni 2016 di samping. Saat ini yang bersangkutan berstatus diskors sebagai dosen Fisipol UGM, meskipun March News tetap mencantumkan bahwa beliau adalah "Lecturer" di UGM. 


Zero Tolerance Salah Kaprah
Ada beberapa hal yang patut disayangkan dalam skenario ini. Pertama keengganan fakultas mengambil tindakan tegas terhadap Mas Eric, meskipun mengaku "akan secara kontinyu melakukan kampanye Zero Tolerance terhadap pelecehan seksual." 

Cambridge Dictionary mendefinisikan Zero Tolerance sebagai "the act of punishing all criminal or unacceptable behaviour severely, even if it is not very serious." Dalam hal ini tindakan memang sudah diambil oleh Fisipol UGM. Tapi apakah sanksi yang diberikan sudah cukup severe (berat, dalam skala yang paling besar)? Buat saya tidak. Karena dalam putusan itu Fisipol UGM masih meninggalkan lifeline untuk menarik Mas Eric kembali ke dalam lingkup pengajarnya. Untuk saya keputusan ini merupakan kesalahan fatal. 

Tindakan yang diambil Fisipol UGM dalam merespon kasus-kasus Mas Eric akan menjadi preseden, baik bagi dosen yang melakukan pelecehan seksual maupun mahasiswa penyintas (laki-laki maupun perempuan) yang ingin melaporkan kasus pelecehan oleh dosen yang dialaminya. Saya yakin Mas Eric bukan satu-satunya dosen di dunia (mungkin di UGM, tapi saya tidak yakin) yang pernah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai pengontrol nilai mahasiswa untuk mendapatkan keuntungan secara seksual dari mahasiswanya. 

Si dosen bisa saja menggunakan argumen bahwa ini dilakukan atas dasar mau sama mau. Tapi fakta bahwa beliau punya power lebih atas mahasiswanya membuat argumen ini menjadi tidak relevan. Karenanya hubungan seksual dosen dan mahasiswa dinilai sebagai sesuatu yang tidak etis, baik dalam kasus-kasus Mas Eric maupun yang lainnya.


Kekuatan Infiltrasi Media
Terus terang saya baru saja mendengar soal March News tadi malam. Tapi sebagaimana media lainnya, March News punya kekuatan yang sangat besar untuk bisa menyebarkan informasi dan membentuk wacana. After all, information is power. Buktinya, dalam waktu kurang dari 24 jam video pertama dalam seri ini sudah dilihat oleh lebih dari 3000 orang, dibagikan oleh 26 orang, dan di-like oleh 48 orang. Sekarang pasti sudah lebih. 

Media, apapun skalanya, merupakan entitas yang tidak bisa diabaikan dalam mengubah opini publik. Dari pengalaman saya bekerja di NGO, saya sudah melihat banyak kegiatan-kegiatan pembangunan kapasitas yang diarahkan untuk membuat wartawan lebih peka terhadap isu-isu tertentu; mulai dari isu gender, lingkungan, sampai ketidaksetaraan. Hal ini dilakukan dengan harapan ketika para wartawan ini menulis berita, mereka bisa menyampaikan isu-isu krusial yang sering terabaikan kepada pirsawannya. 

Ini belum ditambahkan suku bangsa, ras,
usia, dan agama. (Gambar diambil dari
laman ini)
Mengasumsikan dari pilihan web domainnya yang "ngaktivis" (wemarch.id) saya mengasumsikan bahwa portal berita ini ada untuk menyuarakan hal-hal yang tidak disuarakan media mainstream. Saya sepenuhnya mendukung hal ini. Apalagi di laman Facebook March News, kata-kata yang ditunjukkan dalam cover video-nya adalah: March, Politics, People, dan Culture. Membaca kata-kata ini, saya mengasumsikan (atau minimal berharap) bahwa March News merupakan media yang punya niat untuk memulai dan melakukan gerakan. Pertanyaannya sekarang adalah: gerakan untuk apa?

Di dunia aktivisme, kita mengenal kata intersection. Berdasarkan definisi yang saya temukan di Google, Intersectionality menggambarkan suatu konsep di mana institusi-institusi represif (misalnya rasisme, seksisme, homofobia, transfobia, xenofobia, klasisme, dll) sebenarnya terkoneksi satu sama lain, dan karenanya tidak bisa dipisahkan. Basis dari konsep ini adalah kenyataan bahwa manusia bukanlah entitas yang one dimensional, dan karenanya permasalahan yang dihadapi tidak hanya ada di satu dimensi. Contoh paling kuat dari interseksionalitas ini adalah kelahiran Black Feminist di Amerika dan Afrika Selatan. 


Seberapa Pantas?
Saya sangat mendukung upaya March News men-de-demonisasi komunisme dan menyuguhkannya sebagai suatu konsep yang tidak jahat. Hal ini memang sangat diperlukan, dan harus dilakukan seintensif mungkin dalam tempo sesingkat-singkatnya, mengingat generasi terakhir korban demonisasi komunisme sudah mulai berguguran. Tapi apakah layak hal ini dilakukan dengan memasang muka opresor lain? 

All for one, and all for love!
(Picture taken from Pixabay)
Ada orang yang berkomentar di video yang diunggah bahwa Mas Eric tetap layak berkomentar, mengingat beliau punya kompetensi di bidang itu. Well, Hitler juga punya kompetensi di bidang politik praktis, tapi apakah beliau masih pantas berkomentar soal politik praktis setelah Auschwitz? Meskipun dia sama sekali tidak menyebarkan ideologi anti-semitisnya dalam komentas tersebut? Mungkin iya, tapi secara etis kita tidak boleh memberikan dia panggung out of respect to the family of the victims. Kita tidak bisa meminta para penyintas sejenak mengesampingkan pengalaman buruk mereka karena "beliau kompeten di bidangnya". Ini argumen malas. Orang yang kompeten masih banyak dan bisa dicari dengan sedikit usaha. Buktinya tempo.co bisa tuh menemukan Dosen FIB, Muhammad Al-Fayyadl, yang secara terbuka bicara soal fobia komunisme (silahkan cek laman ini)

Mungkin Fisipol UGM enggan sepenuhnya memutuskan hubungan dengan Mas Eric. Apabila anda sudah pernah menghabiskan waktu berdiskusi dengan beliau, pasti anda sadar kalau beliau adalah seorang akademisi brilian. Beliau adalah aset berharga untuk fakultas. Tapi seperti yang diungkapkan salah satu teman saya, Tyas, dalam diskusi kami pagi ini, "apalah arti ilmu kalo yg memberi ilmu justru menjadi antitesis dr keilmuan itu sendiri." 

Mas Eric dulu sempat mengajar mata kuliah Gender dan Politik, jadi beliau paham betul apa maksud diskriminasi terhadap perempuan dan pelecehan seksual. Despite that knowledge, dia membuat pilihan sadar untuk terus melakukan pelecehan terhadap mahasiswi-mahasiswinya. Apakah beliau masih pantas dianggap pendidik kalau begitu? Selama kita masih meng-glorifikasi kemampuan akademik dengan mengabaikan karakter, saya pikir kita masih punya masalah. Kenapa? Karena pelaku pelecehan seksual akan selalu menemukan bahwa masih ada orang yang akan menghargai dia, secara akademik maupun finansial, dan bahwa tidak ada konsekwensi nyata untuk tindakannya. Dan hal inilah yang tidak bisa saya terima. 

Sunday, October 30, 2016

In Defense of Diana of Themyscira


Let us pretend that Diana of Themyscira is real for a moment. 

***

Beberapa waktu lalu PBB menobatkan Wonder Woman sebagai Honorary Ambassador for the Empowerment of Women and Girls--Duta Kehormatan untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak Perempuan. Tentunya keputusan ini menyulut protes dari banyak pihak, bahkan dari dalam PBB sendiri.


Dalam petisi online berikut ini, pihak yang mengaku sebagai "Concerned United Nations staff members" menyatakan bahwa meskipun karakter ini awalnya dimaksudkan untuk merepresentasikan perempuan yang berdaya, saat ini karakter tersebut digambarkan sebagai "perempuan kulit putih berdada besar dengan proporsi [tubuh] yang tidak masuk akal, menggunakan pakaian ketat minim berkilauan, bermotif bendera Amerika, yang menunjukkan pahanya; dan knee-high boots.

***

Lagipula kalau lagi nggak berantem,
mbaknya pakai baju biasa aja kok.

Ketika kuliah dulu, saya mengikuti mata kuliah Negosiasi dan Resolusi Konflik yang mengajarkan saya untuk "serang masalahnya, bukan orangnya" (easier said than done, sampai sekarang saya juga masih menyerang orang kalau saya kesal dengan yang dilakukannya; but that's not the issue).


Sayangnya, petisi ini dibuka dengan menyerang persona Diana, seorang diplomat dan prajurit muda yang mumpuni, dalam misi perdamaian di Amerika Serikat, sekalian juga misi menyelamatkan dunia dari Olimpian gila.

Bukan salah Diana dia adalah "perempuan kulit putih berdada besar". That's just her DNA. Pakaian minim yang dikenakan Diana adalah baju zirah kehormatan yang diberikan kepada Diana ketika dia mendapatkan gelar Jawara Amazon dalam kontes yang diadakan di Themyscira (cheesy, I know). Meskipun mungkin tidak masuk akal bagi orang lain, baju zirah tersebut adalah bagian dari kebudayaannya. Kebudayaan yang, seberapapun aneh, sebenarnya tetap harus dihormati.

***


Kekhawatiran banyak orang mengenai penunjukan Diana sebagai duta PBB sangat bisa dimengerti. Di masa sekarang, saat perempuan dianggap hanya sebagai objek seksual, orang harus berhati-hati dalam memilih tokoh yang bisa dijadikan panutan.


Meskipun begitu, menurut saya cara para staff PBB yang "khawatir" ini menggambarkan Diana sebenarnya juga merupakan cerminan dari masyarakat seksis. Masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai penggoda, perwujudan dari segala yang buruk, dan penyebab dari segala tindak kejahatan.

Bahkan ketika memprotes kebodohan yang dilakukan oleh PBB ini; masyarakat tetap memilih menyediakan porsi untuk menyalahkan perempuan, daripada fokus pada masalah sesungguhnya. Sebagai institusi supra nasional, PBB seharusnya memberi gelar kehormatan ini kepada perempuan nyata sehingga para perempuan dan anak perempuan yang belum berdaya dapat melihat pengalaman hidup dan rasionalitas di balik pilihan yang dibuatnya, dan menjadikannya contoh untuk mengangkat diri mereka keluar dari ketidakberdayaan.

***

Picture Credit: Clipart Kid.
Saya pikir diakui ataupun tidak, hal ini menunjukkan tiga hal: (1) PBB adalah lembaga yang masih maskulin, (2) semuanya bergerak atas pesan sponsor, dan (3) perempuanlah yang akan menjadi korban. Untuk saya, hal yang ketiga adalah hal yang paling krusial dalam isu ini.

Entah itu majalah mode yang menyatakan perempuan gendut itu jelek atau Meghan Trainor yang menyatakan perempuan kurus itu palsu; bahkan ketika kita merasa menyuarakan kepentingan dan pemberdayaan perempuan, kita masih juga mengorbankan perempuan. Satu hal yang pasti, masyarakat kita perlu berubah menjadi lebih baik--kinder--terutama pada hal-hal di luar zona nyaman kita.

Tuesday, April 5, 2016

Batman v Superman: Inequality, Paranoia, dan Disfungsi Komunikasi

Weekend lalu saya pergi dan menonton Batman V.S. Superman: Dawn of Justice yang (thanks to the rave reviews) sepiiii.. Setelah dibombardir dengan film-film superhero Marvel yang cenderung berwarna (literally), menurut saya film ini bagaikan angin segar. Yah, angin segar di tengah gelap badai sih. But refreshing nevertheless. After all, what do you expect when Christopher Nolan's the producer?

Infografis diambil website Oxfam. Silahkan baca laporan
lengkapnya yang berjudul "An Economy for the 1%"
di sini, tapi jangan berharap menemukan nama Bruce
Wayne ya...
Sebelum masuk dalam pembahasan soal filmnya, I must admit that I would always choose Batman over Superman. Kenapa? Karena Bruce Wayne tidak punya metahuman powers, kecuali mungkin fakta bahwa dia termasuk di dalam "62 orang yang menguasai sumber daya yang sama seperti setengah sumber daya dunia" (Oxfam, 2016).

Tanpa visi, kemampuan, dan kecerdasan beliau tidak mungkin bisa mengepalai two-men vigilante operation, terutama ketika harus menghadapi musuh yang metahuman. Brains over brawls, girls! Brains over brawls...

Film dan karya-karya kebudayaan seringkali mencerminkan keadaan riil dalam masyarakat ketika karya tersebut dibuat, Menurut saya, plot dalam film ini sangat relevan dengan keadaan kekinian. Film ini berhasil menggambarkan bagaimana paranoia dapat tereskalasi menjadi konfik terbuka untuk mengakomodasi kepentingan segelintir orang yang belum tentu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan umat.

Illegal Alien
Tapi dia unyuuuuu... (Photo Credit: Warner Bros)
Superman is an alien. Terlepas dari fakta bahwa dia sudah secara de facto sudah dinaturalisasi.

Kenyataannya, banyak hal yang tidak kita mengerti tentang Kryptonian. Dan kita tidak punya cara untuk mengetahui lebih jauh. Lha wong kebudayaannya sudah hancur.

Satu-satunya sumber informasi yang ada juga hanya bisa diakses oleh Kal-El yang notabene keturunan Kryptonian. Hal ini menjadikan Kal-El suatu keanehan. Enigma. Anomali. And therefore, a threat.

Pada dasarnya manusia punya kecenderungan untuk berkelompok dengan orang-orang yang serupa. Karena itulah kita menciptakan beragam identitas. Supaya kita bisa merasa aman ketika kita berada dalam satu kelompok yang sama. Perlu? Mungkin juga. Tapi sayangnya perasaan aman ini mempunyai efek samping: xenofobia.

Ketidakberdayaan dan Ego
Sebagai metahuman, Superman punya kemampuan yang tidak dimiliki mayoritas manusia. Hal ini disadari oleh Bruce Wayne dan Lex Luthor. Hal ini sedikit banyak menimbulkan perasaan tidak berdaya. Makanya mereka mati-matian mencari senjata yang bisa digunakan untuk membunuh (atau minimal melumpuhkan) Superman. Dalam rangka menjustiifikasi pencarian ini, mereka mengatasnamakan seluruh umat manusia. Kok saya jadi ingat teman saya (keturunan Tionghoa) yang tadi siang ngomel gara-gara Jaya Suprana mengatasnamakan orang keturunan Tionghoa dalam argumen anti-Ahoknya ya. :-D

Perasaan tidak berdaya ini kemudian mengusik ego Bruce dan Lex. Mereka selama ini ada di dalam posisi priveledged dalam masyarakat. Eh ternyata di atas langit masih ada langit. Berbeda dengan mereka yang diuntungkan karena sumber daya yang mereka kontrol, priveledge Superman inheren dengan dirinya. Coba bayangkan betapa menyebalkannya hal ini bagi Bruce dan Lex. Orang dari kelas yang jauh lebih rendah dari mereka bisa mendapat exposure dan penghargaan jauh lebih besar dari masyarakat tanpa berusaha terlalu keras. And we all know what happens to men when their ego are disrupted, no? *wink wink*

Minim Komunikasi
Dalam setiap hubungan yang berhasil, ada komunikasi yang fungsional. Batman dan Superman tidak punya ini. Satu-satunya kontak nyata yang terjadi di antara mereka berdua sebelum berantem adalah ketika Clark nguping pembicaraan Bruce dan Alfred di pesta Lex Luthor. Di adegan inipun tidak ada upaya serius untuk saling mengenal satu sama lain. Emang susah ya, kalau ada dua Alpha Male dalam ruangan. Bawaannya pengen beratem aja.

Padahal coba kalau di saat itu mereka ngobrol dengan pikiran terbuka dan berusaha mengenal dan mengetahui background story satu sama lain. Bukan tidak mungkin mereka bakalan jadi BFF kan? Atau minimal jadi sekutu lah yaaa...


Atau mungkin cuma butuh Jimmy Kimmel...


American Idol
Satu hal yang mengkhawatirkan dari film ini adalah distopia dimana ada milisi yang tampak sangat berdedikasi untuk mendukung Superman, terlepas dari fakta bahwa dia digambarkan sebagai lalim. (Yay Ezra Miller!)

Mungkin dikarenakan perasaan tidak berdaya dalam dunia, manusia senantiasa merindukan sosok mesiah yang bisa diikuti dan diidolakan. Dalam film ini, tokoh tersebut adalah Superman. Dalam dunia nyata, bisa saja tokoh itu jadi Ahok atau bahkan Haji Lulung.

Punya idola sih oke-oke saja. Tapi selalu ingat bahwa idola juga manusia yang tidak mungkin bisa memenuhi 100% ekspektasi kita. Hati-hati nanti kasusnya jadi kayak Aung San Suu Kyi. Kecewa. Bahkan seorang Superman saja dalam film ini gagal mencegah bom bunuh diri yang menewaskan banyak orang di Capitol Hill. Makanya nggak usah mengkultuskan manusia (atau bahkan Krypronian) deh. Musyrik juga.

Thursday, January 28, 2016

Millenials: Equal and Opposite Reaction

Apakah anda lahir di antara akhir tahun 70an sampai awal 90an? Kalau iya maka sama seperti saya, anda masuk ke dalam satu kategori generasi yang bahkan namanya belum disepakati. Ada yang menyebut kita millenials, generasi Y, atau bahkan GYPSY.

Beberapa tahun terakhir saya perhatikan, mulai banyak artikel yang berusaha mendefinisikan kehidupan dan tingkah laku orang-orang generasi ini. Banyak diantaranya menurut saya sangat judgemental. Beberapa terang-terangan menyatakan keprihatinan akan masa depan: mau jadi apa dunia ini kalau dipimpin sama bocah-bocah millenial ini? Kok sepertinya mengatur diri mereka sendiri tidak becus?

Orang-orang yang menulis artikel-artikel ini (setidaknya yang berhasil saya telusuri dengan bantuan Mbah Gugel) kebanyakan lahir sebelum datangnya generasi millenial. Pada dasarnya mereka mengatakan bahwa generasi ini mempunyai ekspektasi yang terlalu tinggi, bahkan sampai tahap delusional; yang tentunya tidak realistis ketika dibandingkan dengan kenyataan yang ada. Makanya banyak yang depresi. Generasi ini juga apatis, dan tidak terkoneksi dengan fenomena sosial di sekeliling mereka. Makanya mereka tidak punya empati. Saya punya tiga kata untuk kalian para penulis artikel: too fucking late!

Kalian menginginkan kami mendapat kehidupan yang lebih baik dari kalian, sehingga membanjiri kami dengan barang-barang konsumsi yang dipaksakan kepada kalian oleh korporasi. Ketika kami menghabiskan uang kami (yang tentunya tidak sebanyak kalian, mengingat kami baru masuk ke dalam angkatan kerja) untuk membeli barang-barang yang tidak bisa dianggap aset, kalian bilang kami boros.

Setiap kami pulang membawa rapor kami, kalian selalu bertanya apakah nilai kami bagus dan memasang wajah kecewa kalau ternyata tidak. Kalian membuat kami percaya bahwa pencapaian-pencapaian akademik (yang di kemudian hari bertransformasi menjadi pencapaian finansial) adalah satu-satunya hal yang harus kami kejar. Ketika kami mencontek atau paling tidak menggunakan "rumus singkat" yang diajarkan di bimbingan belajar, kalian bilang kami malas.

Kalian sibuk bekerja (yah, bukan salah kalian juga sih. Kalau mau sedikit kelihatan kiri lebih tepat menyalahkan struktur kapitalisme global), tidak punya waktu mengajak kami bersosialisasi dengan tetangga-tetangga. Ketika kami tidak tahu ketika mereka punya masalah, kalian bilang kami tidak peduli.

Kalian membuat kami percaya bahwa kami ini istimewa, kalau kami bisa meraih segalanya. Reach for the moon, if you miss at least you will land among the stars, kata kalian. Kalian lupa bahwa bintang lebih jauh dari bumi, dan kalau kami mendarat di ruang angkasa yang hampa udara, kami akan mati beku kehabisan oksigen dalam 30 detik. Begitu kami depresi mengetahui kenyataan itu, kalian bilang kami manja.

Tanpa bermaksud menyalahkan para orang tua, apakah kalian tidak merasa bahwa kami adalah produk dari struktur poleksosbud yang kalian ciptakan? Sudahlah, tidak perlu lagi menganalisa karakteristik generasi kami. Bikin tambah depresi aja. Lebih baik kalian katakan pada kami apa yang harus kami lakukan supaya kekacauan ini tidak kami lanjutkan ke generasi berikutnya.